Bermalam di Desa, Bisakah Diteruskan Nikson Jika Jadi Gubsu ? (Bagian 3)
4 min readOleh Ir Zulfikar Tanjung
Nikson Nababan, tokoh politik nasional Indonesia yang 10 tahun menjabat Bupati Tapanuli Utara, memiliki kebiasaan unik. Yaitu, bermalam di desa-desa di wilayah pemerintahannya.
Saat bermalam itu, bisa dipastikan dia menginap di rumah salah satu warga secara acak. Bukan difasilitasi.
Ini menunjukkan niatnya untuk merasakan langsung kehidupan sehari-hari masyarakat desa dan tidak meminta perlakuan istimewa.
Bisa lagi dipastikan, dalam kunjungannya ke desa, Nikson Nababan tidak ingin merepotkan, apalagi membebani masyarakat maupun aparatur desa.
Di sinilah titik uniknya itu. Saat bermalam, ia cenderung menjalani kegiatan sehari-hari dengan sederhana, seperti makan bersama warga, mie instan pun oke, dan ikut dalam kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat setempat.
Artinya, dalam setiap kunjungan, tokoh yang nama lengkapnya Kanjeng Pangeran Raden Aryo Dr Drs Nikson Hasudungan Nababan MSi Darmonagoro, ini lebih fokus pada bagaimana dia bisa melayani masyarakat, bukan dilayani.
Misalnya, berdialog, inspeksi proyek dan pelayanan administrasi di tempat.
Tujuannya adalah untuk mempermudah urusan warga, bukan sebaliknya memberatkan aparatur desa dengan persiapan berlebihan.
Malah, dalam setiap kunjungan Nikson lah yang melakukan persiapan dengan membawa anggaran untuk kebutuhan dasar dan kegiatan yang membawa manfaat langsung.
Dapat disimpulkan, kebiasaan bermalam di desa ini menunjukkan pendekatan kepemimpinan yang inklusif dan partisipatif, di mana pemimpin daerah tidak hanya bekerja dari balik meja tetapi terjun langsung ke lapangan untuk memahami dan mengatasi masalah-masalah yang ada di masyarakat.
Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan komitmen Nikson Nababan untuk menjadi pemimpin yang dekat dengan rakyat dan memahami kebutuhan mereka secara langsung.
Dengan demikian, ia dapat membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat desa.
Kini nama beliau masuk dalam bursa bakal calon Gubernur Sumatera Utara (Balon Gubsu) untuk Pilgubsu 2024.
Wajar muncul pertanyaan, seandainya dia menjadi gubernur apakah kebiasaan ini bisa dilakukan, mengingat jumlah desa di tingkat propinsi cukup banyak ?
Banyak variabel untuk menjawabya. Yang jelas, mempertahankan kebiasaan bermalam di desa akan menghadapi tantangan lebih besar mengingat cakupan wilayah yang lebih luas. Namun itu bukan tidak mungkin jika melihat komitmen Nikson Nababan selama ini.
[Panggilan Jiwa]
Banyak pihak yakin seandainya Nikson Nababan menjadi gubernur, kebiasaan uniknya bermalam di desa akan lanjut.
Setidaknya ini dikuatkan oleh indikasi, ternyata pengalaman hidupnya di desa memberikan pemahaman mendalam dan menumbuhkan rasa cinta dan tanggung jawab untuk memperbaiki kondisi desa.
“Desa adalah panggilan jiwa saya. Ini terbentuk dari pengalaman masa kecil saya yang dari keluarga sangat sederhana,” ujar Nikson Nababan dalam suatu kesempatan berbincang pekan lalu di kediamannya di Medan. Berbicara tentang desa tampak beliau sangat bersemangat.
Dikisahkannya, mereka kakak beradik tujuh orang. “Ketika anak pertama kuliah, beban keluarga saat itu sudah terasa berat karena gaji guru kedua orang tua saya berapa la. Lagipula masa itu SMA masih bayar uang sekolah. Ketika ‘ito’ saya ikut kuliah ke Medan, saya sudah merasa kehidupan tidak sebagaimana anak-anak lainnya. Sebab, tiap hari kita harus ke ladang. Itu pun yang kami kerjakan adalah ladang orang, bukan ladang sendiri,” tuturnya.
“Kami tinggal di Siborong-borong, sementara tanah ayah kami di kampung. Jaraknya jauh dari Siborong-borong. Nggak mungkin kami tiap hari bolak-balik ke kampung untuk berladang sehingga terpaksa lah kami mengerjakan ladang orang di desa sekitar Siborong-borong. Terkadang sakit sekali, sesudah lahan tidur yang kami garap panen sekali atau dua kali, lalu diminta kembali oleh yang punya tanah,” kisah Nikson Nababan.
Dia mengisahkan ibunya saat itu harus meminjam-minjam uang untuk membiayai kuliah saudaranya. Tidak jarang dia melihat ibunya meneteskan air mata, apalagi saat ladang yang sudah mereka garap baru beberapa kali panen diminta oleh yang punya.
“Sakit sekali rasanya hidup ini waktu itu. Di ladang harus mencangkul di bawah terik matahari sehingga muka bopeng-bopeng. Tidak ada mekanisasi. Berapa lah yang bisa digarap kalau dengan tenaga manual,” ujarnya.
Bahkan, kisahnya, tidak jarang dia malam hari tidur dalam keadaan tubuh masih berbau bekas kotoran hewan ternak. Sebab setiap pagi dan sore mereka harus mengantar kotoran hewan ternak ke ladang. Air kotoran itu banyak menetes ke badan. Setelah mengantar kotoran ternak itu, jarang mereka mandi karena udara setempat sangat dingin waktu pagi atau sore, sehingga mereka hanya cuci muka saja.
Nikson Nababan mengakui kehidupan masa kecilnya yang prihatin itu menumbuhkan panggilan jiwanya untuk mencintai desa. Pengalamannya yang banting tulang mengolah lahan tidur dengan mengerahkan tenaga mencangkul ngos-ngosan, memunculkan komitmen baginya harus memberhasilkan pertanian mekanisasi.
Pengalaman masa remajanya yang terbiasa jalan kaki berkilometer membuat dia terbiasa turun ke desa saat menjadi bupati. Kehidupan masyarakat desa tersebut masih dirasakannya hingga saat ini sehingga seandainya pun dia menjadi gubernur sangat tidak mungkin beliau lupa kepada suasana desa. Melintasi jalan setapak bukan sulit baginya, sehingga mendorong dirinya membangun dan membuka jalan-jalan desa saat memimpin kabupaten itu.
Pengalaman masa kecilnya melihat petani sulit pupuk dan Ketika panen berurusan dengan tengkulak membuat hatinya terbuka harus mengatasi ini waktu diberi Amanah. Maka lahirlah Lelangt Pertanian di Taput ketika dia jadi bupati sehingga petani ada jaminan harga dan pasokan tata niaganya (Bersambung) * Penulis Wartawan Kompetensi Utama Dewan Pers