15 Desember 2024

Media Berita Online Lugas – Tegas – Terpercaya

Hari Pers 2023 dan Pers Patriot

4 min read

Medan | Intipos.com – MUNGKIN tak lazim seorang pejabat publik secara gamblang menyilakan pers mengritiknya, jangan ragu-ragu melontarkan kritik, dengan kalimat, “Kritiklah saya. Silakan!”

Percaya atau tidak, kalimat itulah yang dilontarkan Edy Rahmayadi (61), gubernur Sumatera Utara, saat bertemu jajaran redaksi Koran Mimbar Umum (KMU) –dipimpin pemimpin redaksi Jalaluddin–  Rabu 9/11, di rumah dinas resminya di Jalan Sudirman, Medan.

Lontarannya menjdi lebih bermakna, karena didengarkan sendiri oleh Ketua PWI Pusat, Atal S Depari –yang ikut olahraga jalan pagi bersama– serta disaksikan beberapa staf inti, termasuk Kadis
Kominfo Ilyas Sitorus.

Pada temu silaturahim itulah Gubernur Edy menyampaikan ucapan selamat HUT ke-77 KMU, pada Ahad 6 November yang lalu. KMU, tercatat sebagai suratkabar perjoangan tertua di Sumatera. Di Jawa koran perjuangan lebih senior ialah Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta, berdiri 27 September 1945).
*

PENTING.

Gubernur Edy menilai kritik itu sejatinya penting, sangat berguna, bila kritik itu memerhatikan sedikitnya dua hal.

Pertama, tidak tendensius menyerang pribadi. Sebab, menyerang person itu sifatnya subyektif.

Sementara pers oleh “kitab suci”-nya sendiri mengajarkan agar senantiasa berpikir dan bertindak obyektif, independen. Kritik melalui liputan berita atau tulisan opini, sepatutnya didasarkan pada
fakta-fakta akurat (tidak bias), serta diarahkan pada kebijakan yang tidak atau kurang selaras dengan peraturan-peraturan baku selaku acuan.

Hal paling ditunggu pejabat publik, ialah, bila kritik pers
secara akademis dan rasional menawarkan jalan-keluar (solusi) dari permasalahan yang dikritisi.
Ringkasnya, kritik bukan untuk kritik, melainkan menawarkan alternatif agar menjadi lebih baik.
Kedua, orientasi kritik sepatutnya demi kebaikan publik luas, bukan sempit atau untuk segelintir
pihak.

Dalam hal provinsi Sumatera Utara, misalnya, orientasinya pada kepentingan penduduk
14,56 juta jiwa (2019).
*

OPINI PUBLIK.

Edy secara jujur mengakui dia bukan akademisi. Karena itu, di luar kaedah-kaedah
kemiliteran –sebagai pensiunan TNI AD dengan pangkat terakhir Letjen purnawirawan– dia
hanyalah seorang otodidak, belajar sendiri dari referensi yang tersedia. Tentang pers, dia mengakui fungsi dan peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara –di luar eksekutif, legislatif, yudikatif– sangatlah besar, strategis, dan dapat dikatakan pengaruhnya luar biasa dalam membentuk mindset (kerangka berpikir) publik. Teori pers menyebutnya sebagai public opinion (pendapat atau opini publik).

Baca Juga  Walkot Susanti Hadiri Perayaan Natal ASN-THL Pemko Siantar di Balai Kota

Maka, berdasarkan fungsi-fungsi yang melekat pada pers (sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial), pers (cetak, elektronik, siber) sangatlah efektif untuk memperluas wawasan pikir, mencerdaskan, memotivasi dan menumbuhkan daya kritis publik.
Hanya, pers dapat juga menjelma menjadi dua sisi mata pisau: baik dan buruk !

Bila kiprahnya dalam menjalani kemerdekaan pers, memedomani semua aturan baku yang ada
(UUPers, Kode Etik Jurnalistik, teknis dan elemen-elemen jurnalisme), maka pers menjadi institusi yang bermanfaat bagi publik. Tetapi sebaliknya, bila pers menabrak semua aturan yang baku, maka pers pun, bisa luar biasa merusak!
*

PEMIKIRAN.

Saat berdiskusi dengan Gubernur Edy, MimbarUmum coba melontarkan sebuah
pemikiran: Mungkinkah negara atau pemerintah –dan dalam hal di daerah adalah gubernur atau
bupati/walikota– bersedia memikirkan bagaimana cara memosisikan pers sebagai “pilar keempat sesungguhnya” dari demokrasi, disamping ekskutif, legislatif dan yudikatif ?

Bila jawabannya “ya,” maka negara atau pemerintah berkewajiban memperkuat (to strenghten)
institusi pers (menjadikannya feasibel sebagai badan usaha sehingga secara mandiri mampu
memberi kesejahteran bagi wartawan dan karyawan), serta memperkuat dunia kewartawanan (untuk memenuhi kualifikasi profesional dan kompeten dari segi knowledge dan experience)!
Strenghten, tentu tidak harus bermakna mengucurkan anggaran ke perusahaan-perusahaan pers dan wartawan, melainkan memfasilitasi institusi-institusi pers agar memiliki kemampuan manajemen perusahaan secara mumpuni dalam menjalankan usaha –yang kini persaingannya sangat ketat dan
kejam–  serta juga memfasilitasi wartawan menjadi agar benar-benar menjadi jurnalis profesional.

Strenghten bisa dalam bentuk pendidikan (sekolah jurnalistik), pelatihan-pelatihan, workshop di
daerah, di level nasional atau bahkan lintas negara.
Semua biayanya, ditanggung oleh negara.
Tetapi, satu hal paling mendasar yang penting disadari, ialah, negara atau pemerintah mendukung
perkuatan ini sebagai bagian dari perkuatan pilar demokrasi –sebagaimana perlakuan negara
terhadap eksekutif, legislatif, yudikatif– dan bukan memperlakukannya sebagai “hadiah” atau
“sogokan,” sehingga pers tidak perlu merasa “berutang budi” dan karena itu “harus membalas budi”
karena pada gilirannya menjadi tak maksimal mengemban fungsinya –terutama dalam menjalankan
fungsi kontrol sosial atau kritik.
Wartawan idealis –bisa hidup sejahtera di institusi pers, sehingga tidak tergantung pada “kebaikan
hati” siapa pun termasuk pemerintah– itulah yang mampu memberikan kritik seperti disuarakan
Gubernur Edy.
*
PERS PATRIOT.

Baca Juga  Walkot Susanti Hadiri Pelantikan dan Pelatihan Relawan Damkar Siantar Tahun 2024

Bercermin pada era pers perjoangan, era sebelum dan pada awal kemerdekaan, sejarah mencatat idealisme pengelola suratkabar dan wartawan begitu tinggi, dalam ikut
menggelorakan semangat perjoangan membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan. Pada hal
fasilitas sangat terbatas, tekanan dari kaum penjajah pun begitu berat.
Pertanyaannya: Masihkah dunia pers kita kini, kuat menyumbang peran sebesar pada saat era
revolusi?
Kalau “ya,” bagaimana roadmap-nya?
Kalau “tidak,” apa yang hilang, dan bagaimana cara menginjeksikannya kembali?
Ke Gubernur Edy dan juga Ketua PWI Atal S Depari, MimbarUmum membisikkan, “Mungkinkah
pers atau wartawan juga bisa dididik dan digembleng hingga menjadi atau bermental patriot?
Patriot atau patriotisme, ialah sikap: berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi bangsa dan
negara.
Dalam konteks kekinian, tentu bukan lagi berkorban jiwa seperti halnya tentara, melainkan
keberanian dan kepiawaian menulis (berita, opini) berkonten kebenaran dan keadilan demi mencapai
kesejahteraan, semata-mata demi kepentingan bangsa dan negara.
Maka, MimbarUmum pun menyuarakan ide perumusan “Pers Patriot” atau “Wartawan Patriot”
sebagai penanda peringatan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2023 mendatang di Kota Medan,
dengan tuan rumah Sumatera Utara.
Hanya Gubernur Edy dan juga Ketua PWI Atal S Depari, belum memberi respons.
Bagaimana pendapat anda, pembaca? (CP – chairuddin pasaribu).