Beby Rahayu Lubis Minta Keadilan Ke Komnas Perlindungan Perempuan
7 min readBinjai || Intipos.com __ Beby Rahayu Lubis (40), warga Jalan Soekarno Hatta, Gang Al- Hidayah, KM 18, Kelurahan Sumber Karya, Kecamatan Binjai Timur, Kota Binjai ,meminta penegak Hukum di Polda Aceh Segera Proses Hukum anak dan adik dari Maimun Hasyim terkait Pemukulan/Penganiayaan secara bersama-sama terhadap Beby Rahayu Lubis di halaman Parkir Pengadilan Negeri Jantho Aceh Besar.
Pada tanggal 2 September 2021 pada saat di pelataran parkir Pengadilan Negeri Jantho anak dan adik Maimun Hasyim yaitu Safri Maimun dan Sawaludin melakukan pemukulan dan penganiayaan terhadap diri Beby Rahayu Lubis yang mengakibatkan dibawah mata sebelah kiri Lebam akibat di pukul Safri Maimun, kemudian di susul tunjangan oleh Sawaludin sehingga Beby Rahayu Lubis tersungkur di halaman parkir Pengadilan Negeri Jantho Aceh Besar, melihat kejadian itu Beby Rahayu Lubis sempat di larikan ke rumah sakit dan di rawat inap Kurang lebih 3 hari di klinik Tirta Medika Aceh.
Atas kejadian tersebut Beby Rahayu Lubis langsung membuat laporan/ pengaduan di Polda Aceh terkait Penganiayaan yang dilakukan bersama-sama oleh anak dan adik dari Maimun Hasyim, Kemudian Penyidik Segera meminta agar Beby Rahayu Lubis terlebih dahulu melakukan visum.
Setelah keluar hasil Visum kemudian penyidik Polda Aceh melakukan pemeriksaan beberapa saksi saksi sehingga laporan tersebut di terima Polda Aceh dengan Nomor : STTLP/171/IX/2021/SPKT/Polda Aceh.
Namun sangat disayangkan hingga saat ini terlapor atau pelaku penganiayaan belum juga ditangkap dan belum dilakukan nya penahanan.
Melihat tidak adanya tindakan sampai saat ini dari pihak Kepolisian Polda Aceh terhadap laporan dari Beby Rahayu Lubis terkait Pemukulan dan penganiayaan yang menimpa dirinya.
Kemudian Beby Rahayu Lubis mencoba membuat surat tertulis untuk meminta perlindungan diri yang ditujukan ke Komnas Perlindungan Perempuan agar membantu nya dalam proses Hukum yang lamban yang terjadi terhadap diri nya.
Setelah Surat tertulis itu sampai di meja Komnas Perlindungan Perempuan, kemudian Komnas Perlindungan Perempuan Membalas Surat yang di buat Beby Rahayu Lubis melalui pesan Email serta Pesan Whatsapp untuk mengarahkan ke Lembaga Bantuan Hukum yang di arahkan oleh pihak Komnas Perlindungan Perempuan untuk membantu proses hukum yang saat ini diam di tempat.
Diceritakan Beby, awalnya dirinya menikah dengan saudara Maimun Hasyim pada tahun 2001. Setelah menikah, dirinya tinggal di Banda Aceh, tepatnya di Setui. Selama tinggal di Setui, dirinya membantu usaha dan bisnis suaminya yakni jual beli mobil.
Di dalam menjalankan usahanya, Beby selalu mendampingi suaminya Maimun Hasyem. “Saya selalu menemani suami dalam bisnis, baik di dalam kota maupun ke luar kota dan suami saya selalu meminta pendapat saya baik untuk membeli dan menjual mobil tersebut dan apabila ada keuntungan dari penjualan mobil tersebut,” ujarnya saat ditemui, Senin (24/1/22).
“Saya sedikit pun tidak pernah diberi atau dibagi hasil dari jual beli mobil tersebut, walau saya berharap namun tidak pernah ada sama sekali. Saya pernah mengutarakan pada suami saya agar diberi sedikit dari hasil keuntungan jual beli mobil dan kalau tidak diberi saya tidak akan ikut walaupun ada rekan rekan bisnis memberi informasi ada mobil yang mau dilihat di luar kota dan jikalau saya tidak mau ikut maka suami saya tidak jadi berangkat, begitulah seterusnya,” tambah Beby.
Pada 2004, masih kata Beby, rekan bisnis suaminya memberitahukan bahwa Maimun Hasyem sudah mempunyai istri dan beberapa orang anak. Atas informasi itu, dirinya menanyakan hal tersebut kepada suaminya dan semua itu diakui oleh Maimun Hasyem.
“Mendengar itu saya langsung marah, karena pengakuan suami saya saat akan menikah, dia menyatakan kalau dirinya masih sendiri, ternyata dirinya sudah punya anak dan istri. Saya pun marah pada suami karena saya merasa dibohongi dan saya meminta izin pada suami untuk pulang ke rumah orang tua saya di Binjai. Lebih kurang satu atau dua minggu suami saya datang menjemput saya dan beliau meminta maaf dan membujuk saya untuk kembali pulang,” ujarnya.
Pada 2016, terang Beby, istri pertama suaminya meninggal dunia dan dirinya diajak oleh suami untuk tinggal di rumah besar yang dahulunya ditempati oleh istri pertama. Hal itu pun dilakukan atas permintaan dari anak-anak istri pertama.
“Tahun 2017 saya ikut suami saya untuk tinggal di rumah besar yang dahulunya ditempati oleh istri pertama suami saya dan selamat saya tinggal di rumah tersebut saya juga membantu suami saya yakni di kilang padi di samping bisnis jual-beli mobil yang tetap dijalankan dan kehidupan rumah tangga kami berjalan rukun dan bahagia,” pungkasnya.
Selang beberapa lama, Beby diberikan sepetak sawah oleh suaminya sebagai jaminan hari tuanya kelak. Pada 2020, suaminya mengumpulkan anak-anak dari istri pertama untuk membicarakan perihal pemberian sawah sepetak tersebut dan akan mengurus surat-suratnya.
“Mendengar hal tersebut, anak-anak dari istri pertama suami saya tidak setuju dan menentang dan yang lebih parah lagi anak-anak dari istri pertama suami saya mengusir saya dari rumah sehingga keributan pun terjadi, saya mengatakan pada anak-anak suami saya selama saya mendampingi dan mengurus ayahnya, tidak pernah sedikit pun niat saya untuk menguasai harta orang tuanya. Bahkan kalau memang hanya karena sawah tersebut semua jadi kacau, saya bilang sama mereka saya akan mengembalikannya,” bebernya sembari menangis.
“Bukan ada saya memintanya dan kalau memang hanya karena sawah sepetak ini terjadi keributan, sawah petani yang diberikan oleh ayah kalian saya kembalikan dan saya tidak mau menerimanya dan kalau ini saya terima maka tidak akan ada berkahnya,” ujarnya kepada anak tirinya.
Bahkan, kata Beby, anak tirinya tega mengusirnya, namun tidak ada sedikitpun pembelaan dari suaminya. Dengan berat hati, akhirnya Beby meninggal rumah tersebut.
“Saat itu tak sepatah katapun yang keluar dari mulut suami saya dan akhirnya pada malam itu juga tepatnya di bulan Agustus 2020, saya mohon izin kepada suami saya sembari bersimpuh di kakinya untuk pulang ke rumah orang tua saya guna menenangkan diri. Saya juga mohon izin dan permisi kepada mertua saya dan apabila nanti saya sudah tenang saya akan menelepon dan mohon dijemput,” ucapnya.
Namun betapa sedih dan kecewanya Beby, saat akan beranjak meninggalkan rumah, suaminya hanya bisa terdiam tanpa menahannya, padahal saat itu kondisi sudah larut malam. Dengan rasa kecewa dan sedih serta hati hancur, akhirnya Beby kembali ke rumah orang tuanya di Binjai.
Selama kurang lebih 2 minggu di rumah orang tuanya, lalu beby menelpon suaminya agar menjemputnya pulang ke rumah yang berada di Aceh. Namun suaminya melarang pulang dengan alasan jika Beby kembali, makanya dirinya akan ditangkap pihak kepolisian.
“Saya heran kenapa dan ada apa ini hingga saya ditangkap polisi kalau pulang. Namun akhirnya hal itu terjawab, karena bulan Oktober 2020 lalu diketahui suami saya telah menikah lagi. Hal ini saya ketahui dari status di HP adik suami saya, lalu saya minta tolong pada teman saya untuk mencari tahu tentang hal itu, dan dari teman saya itu lah saya baru percaya dan atas kejadian itu hati saya terasa begitu sakit dan saya mengalami keterpurukan yang begitu dalam, hanya keluarga saya yang selalu memberi motivasi dan semangat untuk saya agar saya tetap tegar dan bangkit kembali,” cetusnya.
Desember 2020, Beby membuat laporan di Polda Aceh terhadap suaminya atas tindak pidana nikah tanpa izin dan penelantaran keluarga. Dalam proses pemeriksaan, suaminya sempat ditahan kurang lebih 2 bulan di Polda Aceh sebelum akhirnya diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jantho Aceh Besar.
“Selanjutnya digelar sidang di Pengadilan Negeri Jantho pada Juli 2021. Sebelum sidang saya berusaha menjumpai Jaksa Penuntut Umum (JPU) Taqdirllah SH dan beliau sudah pindah tugas dan Jaksa pengganti adalah Sidqi Nur Salsa SH, tapi dua kali ingin menemuinya, saya tidak pernah bisa ketemu,” paparnya.
Pada sidang pertama yang digelar 15 Juli 2021, Beby menemui Rais Aufar, SH untuk menanyakan terkait saksi dari dirinya yang tidak dipanggil.
“Beliau terkejut dan mengatakan kalau ada saksinya harap di bawa pada saat sidang pemeriksaan saksi dan saya kemudian bertanya mengapa dalam dakwaan tidak ada pasal penelantaran keluarga, yang ada hanya nikah tanpa izin, Rais mengatakan tidak tahu karena beliau hanya diminta tolong untuk membacakan dakwaan saja. Jelas hal ini tidak sesuai dengan laporan pengaduan saya, lalu saya konfirmasi dengan penyidik di Polda Aceh dan dari Polda Aceh berkas yang dikirim sesuai dengan laporan pengaduan saya dan kalau penelantaran keluarga dihilangkan itu sudah di luar tanggung jawab,” terangnya.
Oleh karena itu, Beby menduga kalau hal ini telah diatur oleh suaminya, Maimun Hasyem dan keluarganya, karena saya tahu mereka mempunyai uang dan dari kalangan orang yang berada ataupun kaya. Bahkan di dalam atau selama persidangan, banyak terdapat kejanggalan-kejanggalan, diawali dengan saya tidak dapat menemui JPU, saksi dari saya tidak dipanggil, pasal penelantaran keluarga dihilangkan, diulur waktu atau ditunda-tunda di persidangan dan di setiap persidangan JPU selalu berganti-ganti.
“Kejanggalan juga terlihat saat tuntutan yang hanya 6 bulan. Apakah pantas ancaman hukuman nikah tanpa izin dalam pasal 279 KUHP dengan ancaman hukuman kurang lebih 5 tahun namun hanya dituntut 6 bulan,” ujarnya kesal.
Dari semua itu, Beby menilai kalau dirinya hanya masyarakat kecil yang tidak bisa mendapatkan keadilan. “Sebab, dimata hukum semua status warga negara sama. Negara Indonesia adalah negara hukum dan hukum tidak mengenal status, kalau memang bersalah pasti akan dihukum sesuai perbuatannya,” ungkapnya.
Pada April 2020, anak suaminya mengajukan permohonan pembatalan pernikahan antara Beby dan Maimun Hasyem ke Mahkamah Syar’iyah Jantho. “Dikarenakan tidak adanya biaya saya, jadi tidak pernah
menghadiri sidang tersebut karena saya yakin dan percaya Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho tidak akan mengabulkan permohonan tersebut karena pernikahan saya sudah kurang lebih 20 tahun lamanya,” ucap Beby
Namun, Majelis Hakim mengabulkan permohonan itu. Untuk mendapatkan keadilan, akhirnya Beby menyatakan banding di Mahkamah Syariah Aceh. Di sini Beby melihat adanya kejanggalan, di mana pemberitahuan memori banding sudah diserahkan ke Mahkamah Syariah Aceh pada 2 Agustus 2020 dan diputus pada tanggal 24 Agustus 2021.
“Kejanggalan ini dapat kita lihat di mana tidak sampai 1 bulan majelis hakim di tingkat banding telah memutus perkara ini. Kejanggalan lainnya dapat kita lihat di mana release putusan banding terlebih dahulu diberitahukan kepada para terbanding dan turut terbanding yakni Maimun dan bertepatan dengan sidang di Pengadilan Negeri Jantho dalam agenda pledoi nota pembelaan dari terdakwa Maimun Hasyem pada 2 September 2021 dan rilis pemberitahuan putusan banding sampaikan kepada saya selaku pembanding pada tanggal 15 September 2021 dan apakah ini adil bagi saya? Juga apakah dugaan saya salah kalau hal ini telah diatur oleh mereka maupun orang-orang yang telah membantu mereka dengan uang mereka?,” tanyanya kesal.(RND)