15 Desember 2024

Media Berita Online Lugas – Tegas – Terpercaya

9 Tahun Kasus Kekerasan Jurnalis Di Surabaya, Terdakwa Masih Bebas Berkeliaran

4 min read

INTIPOS | Surabaya – Kasus kekerasan yang dialami para pencari berita atau jurnalis kerap terjadi, seperti kasus yang dialami Slamet Maulana alias Ade yang dirampas kameranya saat liputan kejadian tabrak lari hingga kini kasusnya belum kelar dan terkesan jalan di tempat.

Padahal sesuai aturan yang berlaku hukum harus transparan serta tidak pandang bulu, siapa pun yang melanggar hukum harus di proses hingga tuntas sesuai perbuatannya dan undang-undang yang menjeratnya.

Walau diketahui Pengadilan Tinggi Jawa Timur Bahwa, dalam perkara banding nomor Nomor 693/PID/2017/PT SBY, atas terdakwa Irine Madalena (45 tahun) yang merupakan warga Jalan Sidoyoso 3 / 49 Rt/Rw 03/01 Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya atau Perum Eastwood Blok EW 9 No. 16, Surabaya hingga saat ini belum ada kejelasan tentang kelanjutan kasus tersebut.

Padahal sesuai aturan Hukumnya, 14 hari sejak relaas diterima, sudah harus ditentukan, apakah mengajukan memori kasasi (upaya keberatan atas putusan Pengadilan Tinggi ke Mahkamah Agung) atau tidak. Jika tidak ada kasasi, secara otomatis terdakwa harus menjalani hukuman penjara 7 bulan.

“Sepertinya proses kasus ini pihak penegak hukum berhadapan dengan proses administratif yang berbelit-belit sehingga terkesan mandeg tanpa kejelasan, Walau dari Januari 2018 Jaksa sudah menerima relaas atau surat pemberitahuan putusan dari Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Namun terdakwa tak kunjung di eksekusi karena dengan alasan belum terima relaasnya, padahal sesuai keterangan dari pihak Pengadilan Negeri Surabaya kalau terdakwa bahkan Jaksa sudah menerima relaas tersebut,”ujar Slamet Maulana kepada intipos.com, Sabtu (28/08/2021).

Lebih lanjut pria yang menjabat sebagai Ketua Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) menambahkan, Jika Kejari dan PN Surabaya dalam kasus ini saling lempar. sebagai warga negara, Ia ingin mencari keadilan, meminta para pakar bicara soal ini. Agar rakyat jangan terus dibodohi.

“Saya meminta agar terdakwa segera dieksekusi. Putusan Pengadilan Tinggi, itu jika keterangan Pengadilan Negeri Surabaya itu bisa dipercaya maka tidak ada kesempatan lagi Kasasi. Jika demikian maka segera saja dieksekusi. Jika tidak, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia,”ungkapnya.

“Kasus yang saya alami merupakan sebuah upaya penegakan hukum terhadap UU Pers. Namun sepertinya aparat belum bisa terima jika ada UU Pokok Pers yang mengatur lex spesialis profesi wartawan ini, sehingga penegakan UU pers ini sangat sulit dan penuh perjuangan di Indonesia, sehingga banyak kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis seperti saya ini tidak terselesaikan,”tambah Ade.

Padahal secara tegas Pengadilan telah menghukum terdakwa dengan 7 bulan penjara. Tapi sialnya, hukumannya tidak maksimal, Denda Rp 500 juta tidak dijadikan pertimbangan majelis hakim sama sekali dalam putusannya, Bahkan untuk vonis 7 bulan terhadap terdakwa hingga 9 tahun belum selesai dan tanpa kejelasan.
Pada UU Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999 telah disebutkan, Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

“Saya minta agar kasus ini menjadi pembahasan dikalangan pers. Karena mungkin ini kali pertama di Indonesia. Perampasan kamera wartawan yang disidangkan hingga vonis membutuhkan waktu 9 tahun, dan pelakunya tidak dijerat dengan UU Pokok Pers pada Pasal 18 ayat 1, Saya rasa aparat masih ragu menerapkan subsider denda Rp.500 juta kepada terdakwa sesuai UU Pokok Pers yang telah disebutkan,”tegasnya.

Sementara itu Humas Pengadilan Negeri Surabaya, Martin Ginting SH, MH, saat di konfirmasi intipos.com engan untuk memberikan keterangan terkait kasus tersebut dan hanya menyarankan agar langsung menanyakan ke Kejaksaan Negeri Surabaya.

 

Secara terpisah,Kasi Pidum Kejari Surabaya Farriman Isandi Siregar, SH, MH, membenarkan jika perkara atas nama terdakwa Irene Madalena sudah ada putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya serta Jaksa Penuntut Umum juga sudah menerima relaas putusan tersebut.

 

“Memang benar untuk terdakwa sudah terima relaas putusannya, namun masih belum dieksekusi, karena setelah di lakukan koordinasi dan pengecekan ke PN Surabaya oleh JPU, Tenyata terdakwa (PH) belum menerima relaas putusan dari panitera, Jadi JPU menunggu sikap terdakwa, apakah terdakwa terima atau kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut setelah menerima relaas putusan,”jelas Fariman saat dihubungi lewat sambungan telephone.

 

Terkait dengan peristiwa kekerasan terhadap jurnalis Surabaya yang terjadi 9 tahun lalu, Pakar Hukum Nasional DR Marthen H Tolelle Bc.Hk SH MH angkat bicara, Ia mengatakan ini perlu dicermati adalah Kasasi-nya. Ia mengingatkan, putusan PN Surabaya tertanggal 8 April 2017 menetapkan terdakwa divonis 7 bulan penjara. Terdakwa pun mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Pada 16 November 2017, dan Pengadilan Tinggi Surabaya mengeluarkan putusan yang diantara isinya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya.

 

“Artinya, jika terdakwa menerima putusan PT, maka terdakwa harus menjadi terpidana sesuai putusan PN Surabaya. Jika terdakwa tidak menerima putusan PT tersebut, terdakwa bisa melakukan Kasasi. Makanya yang harus dicermati adalah terdakwa melakukan Kasasi atau tidak,”ujar DR Marthen.

 

Doktor hukum lulusan S3 Universitas Airlangga juga mengingatkan, ada batas waktu bagi terdakwa untuk mengajukan Kasasi. Batas waktu yang dimaksud disebutkan dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Pasal tersebut berbunyi: “Permohonan Kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa”.

 

Sementara itu W Condro Purnomo, S.H.,M.H, salah satu Praktisi hukum dan juga Pemimpin Redaksi salah satu media di Surabaya mengutuk kekerasan terhadap jurnalis, karena di dalam surat yang di tandatangani Ketua Dewan Pers berbunyi, “Kekerasan tidak dibenarkan dilakukan kepada siapa pun, termasuk terhadap wartawan yang sedang melakukan kegiatan jurnalistik”

 

“Saya berharap kepada setiap Pimred dan rekan-rekan jurnalis harus mendesak aparat kepolisian untuk melakukan pengusutan dan penegakan hukum yang semestinya dan seksama atas kekerasan yang terjadi,”tegasnya.

Ia juga mengingatkan kepada semua unsur pers untuk senantiasa berpegang teguh kepada Kode Etik Jurnalistik, termasuk di dalamnya aspek profesionalitas dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

“Organisasi yang tergabung dalam lembaga jurnalis harus setiap saat berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh para jurnalis yang menjadi korban kekerasan tersebut,”tukasnya.(tyo)