4 Cawalkot Siantar Tak Bernyali Adu Otak dengan Kaum Muda
2 min readSIANTAR | Intipos.com – Komunitas kaum muda di Kota Pematangsiantar berpotensi golput dalam perhelatan konstelasi Pilkada 2024 di Kota Siantar.
Pasalnya, empat pasangan calon yang diundang secara terbuka oleh komunitas kaum muda itu tidak ada yang melirik dan terkesan tidak bernyali untuk debat adu gagasan isi kepala didepan publik meskipun sudah difasilitasi.
Acara yang melibatkan para kaum muda, aktivis, akademisi dan tokoh masyarakat ini digelar di Kabeh Cafe yang berlokasi di Jalan Kotanopan, Pematangsiantar, Sabtu (26/10/2024) Jam 16.30 WIB.
Robert H Pardosi, selaku Ketua HMI Kota Siantar mengatakan bahwa kaum muda saat ini khususnya mahasiswa tidak lagi percaya dengan janji-janji poltik yang digaungkan para calon Walikota Siantar.
Menurutnya, para pasangan calon tidak ada yang melibatkan kaum muda dalam mengkampanyekan program politiknya sehingga berdampak tingginya sikap apatisme kaum muda terhadap politik.
Minimnya pendidikan politik menjadikan kaum muda pesimis terhadap perubahan di Kota Siantar. Apalagi, tidak adanya harmonisasi dan kecocokan antara para paslon dengan kaum muda atau gen z di Kota Siantar.
Alhasil, setiap konstelasi Pilkada potensi suap menyuap pasti terjadi meskipun realisasinya beragam rupa, itu tergantung strategi para paslon dan timnya untuk memikat hati masyarakat.
“Menurut saya money politik di Indonesia khususnya di Kota Siantar sah-sah saja, karena inikan pesta demokrasi. Kalau didalam pesta, itu kan tidak elok juga kalau kita datang tidak membawa amplop,” sebutnya bernada sarkas.
Mengacu pada Pemilu kemarin, 65.000 suara kaum muda sangat menentukan pemimpin yang baru. Dampaknya, salah pilih pemimpin sesat berfikir sehingga berimbas diabaikan.
“Banyaknya pengangguran di Kota Siantar terbukti bahwa pemerintah Kota Siantar gagal menciptakan lapangan kerja. Karena janji kecil seperti itu saja tidak bisa mereka tepati, apalagi janji yang mungkin tidak masuk akal?. Itu lebih mustahil lagi,” ungkapnya.
Sementara, Binsar T Gultom, Dosen HKBP Nomensen menerangkan bahwa gagasan yang ditawarkan para paslon hanya normatif, tidak ada inovasi pembaharuan yang mereka tawarkan ke publik untuk membangun Kota Siantar.
Semua program yang ditawarkan para paslon ini sudah sering didengar dan basi. Lemahnya literasi menjadi kamuflase pembodohan publik sehingga masyarakat menggantungkan harapannya kepada pemerintah.
Parahnya, suara proletariat sama rata dengan cendikia, karena pola yang mereka pakai hanya pola transaksional bukan pola adu intelektual dengan memperdebatkan isi kepala didepan publik.
Sehingga, variable terakhir yang dilakukan para paslon adalah money politik, karena itu dianggap praktis.
“Karena yang kita ketahui, 70 persen dari APBD Kota Siantar itu direalisasikan untuk aparatur negara. Sisanya itulah 30 persen yang digunakan pemerintah untuk kebutuhan publik, seperti pendidikan, sosial dan sebagainya,” pungkasnya. (Srgh)