Tak Merespon Somasi Pemda Bone di Gugat Warganya Sendiri
3 min readBone | Intipos.com – Sebelumnya pada tanggal 23 April 2024 Umar azmar, Iqbal Azis serta Ashar Abdullah melayangkan somasi kepada Pemda Bone melalui bagian hukum pemkab Bone, yanga mana dalam somasi tersebut menyoal ketidak tersediaan Jaringan Dokumentasi dan informasi hukum (JDIH).
Bagian hukum pemkab Bone melalui yacub pada saat itu mengaku sementara menunggu disposisi pimpinan pihaknya juga menyiapkan jawaban atas somasi tersebut.
“Iye sudah di masukkan di bagian umum selanjutnya menunggu disposisi pimpinan, sambil menunggu disposisi pimpinan bagian Hukum sementara mempersiapkan jawaban/ tanggapan terkait somasi tadi” papar Yacub saat di konfirmasi via WhatsApp selasa (23/04/2024).
Karena somasi tak kunjung di tanggapi Pemda Bone, akhirnya pada Rabu 22 Mei 2024, Umar Azmar dan Iqbal Azis melayangkan Gugatan yang didaftarkan via online ke Pengadilan Negeri Watampone dengan nomor perkara 24/Pdt.G/2024/PN.Wtp.
Mereka menuntut pemerintah daerah menjadikan gugatan tersebut sebagai referensi baru untuk menentukan batas kesewenang-wenangan, khususnya terhadap hal-hal yang menjadi kepentingan publik.
Untuk diketahui, JDIH adalah sarana pemberian layanan informasi hukum sekaligus wadah pendayagunaan dokumen hukum secara tertib yang bermanfaat untuk menyebarluaskan pemahaman hukum dan memudahkan pencarian atau penelusuran peraturan perundang-undangan.
Menurut Umar Azmar JDIH itu wajib tersedia karena berkaitan dengan hak publik untuk mendapatkan layanan informasi.
“Juga supaya ada metadata atau keterangan tentang suatu aturan itu masih berlaku atau tidak, sehingga dengan begitu diskusi masyarakat lebih terarah dan tidak lagi sembarangan berasumsi, termasuk soal dugaan pelanggaran oleh pemda, siapa tau dasar asumsi itu ketentuan yang sudah dicabut atau bahkan tidak ada ketentuannya,” kata Umar.
Lanjut Umar, selama ini dirinya banyak mendapati orang-orang bercerita soal pemerintah daerah diduga melakukan pelanggaran terkait beberapa hal, tapi itu menjadi hanya sebatas asumsi karena tidak dilandasi pemahaman tentang aturan yang jelas.
“Nah, dengan JDIH harusnya kita bisa tau segala peraturan terkait kebijakan pemerintah, kita punya pegangan dan kita bisa melihat bagian mana yang tidak sesuai, kalau tidak ada itu, bagaimana kita bisa tau,” pungkasnya
Umar kemudian mengambil contoh, peraturan tentang sepuluh persen pajak daerah yang tidak diketahui karena tidak tersedianya sistem yang bisa diakses untuk mengetahui segala informasi sehubungan peraturan tersebut.
“Saya justru baru tau ada aturan seperti itu setelah berurusan dengan Bapenda beberapa waktu lalu,” ucapnya.
“Termasuk peraturan tentang RT/RW pertambangan atau peraturan bupati tentang kenaikan gaji pokok ASN sebesar delapan persen, juga beberapa peraturan lain, kita tidak tau seperti apa karena tidak ada JDIH,” tambahnya.
Umar berharap, dengan adanya gugatan yang merupakan buah dari diskusi panjangnya bersama beberapa pihak, pemerintah daerah dapat segera berbenah.
“Semoga dari langkah ini juga muncul kesadaran publik mengenai ketersediaan upaya hukum untuk memproses kepentingan publik, kita bisa menggugat pemerintah ketika ada kebijakan yang menyimpang dan merugikan,” katanya.
Kabag Hukum Setda Bone, Ramli pun menanggapi hal tersebut dengan menyebut persoalan gugatan itu hal yang wajar dan merupakan hak setiap orang.
Dia juga mengaku sebelumnya pernah mendapat surat somasi terkait itu.
“Kita siap hadapi,” ucapnya
Ramli menjelaskan, sistem JDIH di pemda selalu ada dan berjalan, namun secara offline.
“Karena kalau online sudah setahun ini tidak bisa, itukan aplikasinya punya pemerintah pusat, beberapa bulan lalu dalam sebuah pertemuan kita disampaikan kalau lagi maintenance, jadi tidak bisa diakses,” katanya
“Sebenarnya kita sudah disarankan untuk buat sendiri aplikasinya, tapi mau bagaimana, tidak ada anggaran,” tegas Kabag Hukum. (rs)